Halaman

Cari Blog Ini

Sabtu, 02 Oktober 2010

TRADISI WETONAN DI TENGAH JAMAN

Setiap Minggu Legi, Pakdhe mengadakan bancakan wetonan (istilah Jawa yang mengacu pada tradisi memperingati hari lahir berdasarkan kalender Jawa). Aneh rasanya. Di masa globalisasi ini masih saja ada yang melakukan tradisi wetonan. Mari kita jelajahi.
Adat istiadat Jawa masih menarik sebagai bahan kajian budaya. Ditengok dari segi kesejarahannya, adat istiadat Jawa telah tumbuh dan berkembang lama, baik di lingkungan kraton maupun di luar kraton. Adat istiadat Jawa tersebut memuat sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan kehidupan masyarakat, yang kini masih diakrabi dan dipatuhi oleh orang Jawa. Masyarakat Jawa melaksanakan tata upacara tradisi sebagai wujud perencanaan, tindakan, dan perbuatan dari tata nilai yang telah teratur rapi. Upacara tradisi pada hakekatnya adalah pengejawantahan dari tata kehidupan masyarakat Jawa yang selalu ingin lebih berhati-hati, agar dalam setiap tutur kata, sikap, dan tingkah-lakunya mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan baik jasmaniah maupun rokhaniah.
Tradisi yang masih dipatuhi dan diakrabi serta tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Jawa pada prinsipnya merupakan siklus. Mengikuti kehidupan sejak seseorang belum lahir (di alam kandungan), lahir (di alam fana), dan meninggal (menuju alam baka). Salah satu diantaranya adalah tradisi wetonan atau peringatan hari kelahiran berdasarkan hari dan pasaran.
Pelaksanaan wetonan dapat dilaksanakan setiap selapan sekali atau tiap wuku sekali, yang dilaksanakan pada weton (hari dan pasaran yang sama). Caranya pun bermacam-macam. Ada yang melakukan kondangan, ada juga yang berpuasa, melek, atau ada juga yang menyiapkan sesaji. Salah satu hal yang menarik dari tradisi wetonan adalah keberadaan sesajen inthuk inthuk.
Sesajen inthuk-inthuk terdiri dari :
a.             Nasi tumpeng kecil yang bentuknya lancip.
b.             Di atas nasi tumpeng diberi cabe merah besar dan bawang merah yang ditusukkan dengan menggunakan lidi.
c.             Telur ayam kampung matang
d.             Gudangan (sayur dengan bumbu kelapa)
e.             Wedang teh, kopi, dan coklat.
f.               Kembang mlati yang masih kuncup diletakkan di mangkuk yang diberi air.
g.             Semua sesaji ditata di atas meja dan diberi lampu.
Sesajen inthuk-inthuk dapat dikatakan sebagai miniatur dari seluruh sesaji wetonan. Bedanya, sesaji inthuk-inthuk ini dipersembahkan khusus untuk menjamu arwah para leluhur, termasuk juga roh-roh pamomong yang mendampingi dan mengayomi jabang bayi atau orang yang diperingati wetonannya. Sebab di dalam pemahaman masyarakat Jawa, roh-roh pun masih membutuhkan makan dan minum, hanya saja bedanya roh-roh tersebut makan dan minum sari dari sesaji yang diberikan.
Makna tradisi wetonan adalah mengingatkan bahwa manusia ada yang mengasuh (momong). Dengan adanya peringatan wetonan manusia diingatkan lagi pada yang momong yaitu sedulur papat lima pancer yang terdiri dari kakang kawah, adhi ari-ari, adhi getih, adhi puser, pancer iku aku dhewe. Artinya kakak kawah (jalan lahir), adik ari-ari, adik darah, adik pusar, pancer itu si jabang bayi (aku). Istilah momongan yang berkembang pada tradisi Jawa tidak terlepas dari cerita pewayangan tentang para Punakawan. Punakawan merupakan lambang dari para pamomong yang mengasuh, mendampingi, memberi saran dan kritik serta dukungan kepada para ksatria pembela kebenaran.
Wetonan juga jadi wujud penghormatan pada ibu sebagai orang yang mbabar wiji dan yang mewujudkan cinta yang sesungguhnya. Orang yang memperingati wetonan diingatkan akan semangat hidup dan berani mencintai seperti cinta seorang ibu.
Nilai dari suatu tradisi tentunya menjadi menarik ketika diketahui maknanya. Tidak hanya sekedar dicibiri atau bahkan dianggap tidak agamis. Sayang memang, tradisi sudah tergerus jaman. Hilang ditelan kesibukan manusia.

1 komentar: