Halaman

Cari Blog Ini

Rabu, 17 November 2010

TAK PERLU KATAKAN CINTA PADAKU

Namaku Joni. Mataku menatap ke luar kaca mobil. Hujan mulai kembali mengurai musim kemarau. Tertegunku melihat titik-titik air hujan menetes menyusuri pinggiran kaca. Basah. Dingin. Rasa dingin ini menyeruak. Membawa kenangan akan dirinya kembali.

Lima belas tahun yang lampau. Kugandeng perempuan yang mungil, cantik, dan belia. Cici namanya. Dia begitu menawan. Wajah tanpa riasan membuatnya semakin cantik. Senja itu kami susuri lembah bertaburan pohon cemara. Pucuk-pucuk cemara bergoyang dengan kemayu. Angin bersiul riang memainkan irama tak bernada. Udara pun mulai terasa lembab. Dingin. Angin mulai binal memainkan ujung rambut panjangnya. Kubelai lembut uraian rambut hitamnya. Kutatap mata jernihnya. Tak sadar terucap tanyaku.
“Apakah kau cinta padaku?”
“Apakah itu penting untukmu?”
“Bagiku, penting.”
“Bagiku, tidak.”

Aku terdiam. Tak mampu berucap. Anehnya perempuan ini. Kata-kata cinta tak penting baginya. Bukankah perempuan menyenangi drama-drama dalam hidupnya. Dan cinta adalah drama yang abadi.
“Mengapa?”
“Aku hanya melakukan yang aku inginkan saja. Aku ingin menikmati waktu ini bersamamu. Tak peduli esok. Tak peduli apa yang kau pikirkan. Bahkan aku tak peduli kemarahan istrimu.”

Kata-kata itu terucap bagaikan peluru yang menghujam dadaku. Terasa sesak dadaku. Aku sendiri tak tahu apa yang aku maui. Apakah aku mencintainya? Entah. Yang kutahu aku merasa nyaman berada di samping perempuan ini. Aku tak harus memakai banyak topeng di depannya. Aku tak harus jadi orang yang pura-pura penuh perhatian. Tak harus selalu berpakaian rapi. Tak harus berbasa-basi.

“Mengapa?”
“Karena kesempatan bersamamu tak pernah dapat terulang lagi. Aku tahu kau pasti akan meninggalkanku. Aku pun tahu kalau aku tak mungkin memilikimu. Kau sudah beristri. Justru kesadaran itulah yang membuatku tak butuh kata-kata cinta darimu.”
“Aku merasa bersalah padamu.”
Tangan kuat perempuan itu menutup mulutku. “Ssssst. Diamlah. Jangan kau hujani aku dengan pertanyaan-pertanyaan. Lebih banyak hal menyenangkan yang dapat dilakukan. Aku lelah mendengar pertanyaanmu. Aku lebih lelah lagi untuk menjawab pertanyaanmu.”

Aku pun diam. Membisu dalam kegelisahan pikiranku. Sementara langkah kami semakin jauh memasuki lembah cemara. Angin semakin bergairah menggoncang bumi. Pucuk-pucuk cemara menggeliat semakin kencang pula. Angin pun datangkan hujan. Rintiknya mulai berjatuhan. Semakin lama semakin deras. Kugandeng tangannya dan berlari mencari tempat untuk berteduh. Badannya basah dihujani air. Tangannya terasa dingin.

Ternyata senja itu saat terakhirku bersamanya. Cici pergi dan tak mungkin kembali. Hanya tertinggal nisan bertulis “Cinta Abadi” yang tergeletak di hutan cemara. Senja itu. Lima belas tahun yang lalu. Kutemui sesosok perempuan yang tak perlu kata cinta dariku. Ah, Cici, kalau kita bertemu kembali. Akan kukatakan aku cinta padamu beribu kali. Tak peduli meski kau tak membutuhkannya. Tak peduli meski kau tak anggap penting kata cinta itu. Aku akan tetap mengatakannya.

“Pak. Pak Joni… sudah sampai rumah pak!” Sapaan sopir membangunkan lamunanku. Dari dalam rumah berlari anakku. “Pah… papah! Papah sudah pulang! Pah, Cici sudah bisa menggambar ayam tadi di sekolah. Terus Cici juga sudah bisa bernyanyi tadi di depan kelas. Terus tadi Cici punya teman baru Pah namanya lucu banget”
Ah kicauan si kecilku tak tertahankan. “Cici, aku cinta padamu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar