Halaman

Cari Blog Ini

Jumat, 24 September 2010

MENGINTIP SURGA

Surti berdoa. ”Tuhan, berikan aku kesempatan sejenak untuk mengintip surga”. Doa itu dilemparkannya setiap hari. Jam 12 tepat. Tatkala Angelus berkumandang. Surti berteriak. Sampailah hari ke delapan. Rangkaian novenanya berakhir esok siang.

Malam menjelang. Surti bergumam. Ah, Tuhan pasti kabulkan doaku. Esok novenaku berakhir. Kan kuintip surga. Terbayang indahnya surga. Laksana ribuan kata dalam kitab-kitab. Beterbangan malaikat berbaju putih. Terasa teduh. Tenang. Segar. Tak ada teriakan anak-anakku yang minta uang tiap tukang bakso lewat. Tak ada garangnya debt collector di depan pintu rumah. Tak ada rengekan mertua yang didera diabetes. Tak ada gunjingan tetanggaku. Tak ada wajah cemberut suamiku yang berceloteh mahalnya harga beras. Tak ada cucian yang meninggi. Yang ada hanyalah satu kata. Bahagia. Ah, lama sekali kata itu tercekat di tenggorokanku. Lama sekali, aku tidak bahagia. Tuhan meski sesaat saja. Please, kabulkan. Amin.

Tiba-tiba. Gelap. Lampu mati. Surti bangun untuk ambil lilin.

Tapi, aduhh. Badanku tidak bisa bergerak. Tangan dan kakiku tak patuh. Berat. Kaku. Ahh. Tenggorokanku tercekat. Seperti terselip seonggok batu. Kepalaku. Semuanya berputar. Ada apa ini?

Samar-samar. Requiem gregorian terdengar. Lagu kematian. Menggema pelan-pelan. Suaranya bak semilir angin di bukit. Memantuli dinding bukit. Lama-lama semakin jelas. Ada suara menggaung. ”Tuhan berikanlah istirahat, abadi dan tenang. Bagi yang wafat. Beri pengampunan segala dosanya”. Suara itu semakin dekat. Semakin keras dan jelas. Claapp. Bak lampu blits kamera. Sinar terang menyeruak. Dari ujung pintu kamar terlihat. Berpendar. Memenuhi ruangan.
Lalu, ada sosok yang muncul dari balik pintu. Laki-laki. Ah, wajahnya. Bersih, ganteng, badannya kokoh, dan bau tubuhnya harum. Dia tersenyum menyapaku tanpa kata. Lalu memegang tanganku. Diciumnya ujung jariku. Pelan. Bibirnya menyentuh ujung jariku. Lembut. Matanya memandangku tajam. Lalu aku seringan kapas. Terjun dalam pelukannya. Bibirku bertemu dengan bibirnya. Ah, lembut terasa di bibirku. Kurasakan gemuruh nafasnya. Detak jantungnya semakin cepat. Dekapannya semakin kuat. Nafasku tercekat. Aku tak bisa berkata. Jantungku berdetak semakin cepat. Bergumul ku dalam dekapannya. Tanpa kata. Tanpa bahasa. Keringat menetes dalam deburan detak jantungku.

Berbisik pelan. Surti mengucap, ”Tuhan, terima kasih. Sudah kuintip surgamu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar