Halaman

Cari Blog Ini

Rabu, 22 September 2010

RELIGIUSITAS ORANG JAWA

Mangunwijaya menyatakan bahwa istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya mempunyai makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas, di pihak lain, melihat aspek yang di lubuk hati, hati nurani, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi. Dikatakan lagi bahwa religiusitas merupakan perasaan keagamaan dengan konsentrasi dari pasrah, sumarah, dan sikap mendengarkan sabda Illahi dalam hati. Religiusitas juga diartikan merupakan kepercayaan pada hubungan manusia kepada yang kudus, dihayati sebagai hakekat yang gaib, hubungan yang serasi antara manusia dengan Tuhan, berdasarkan nilai-nilai moral, etika dan sopan-santun.
Religiusitas lebih melihat pada aspek di lubuk hati, getaran riak, getaran hati nurani pribadi, setiap personel yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan cita rasa yang mencakup ke dalam pribadi manusia. Jadi, religiusitas merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan seseorang di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran. Oleh karena itu, religiusitas hanya mungkin dipertentangkan dengan irreligiusitas, bukan dengan ketidakberagamaan seseorang. Dikatakan demikian karena religiusitas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas keberagamaannya dilihat dari dimensinya yang paling dalam dan personal yang acapkali berada di luar kategori-kategori ajaran agama.
Beberapa pernyataan di atas mengindikasikan bahwa religiusitas sesungguhnya merupakan suatu sikap atau tindakan manusia yang dilakukan secara terus-menerus dalam upaya mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek eksistensialnya. Akan tetapi, jawaban atas sejumlah pertanyaan itu tidak pernah dapat diperoleh karena ia hanya bagai bayangan yang berkelebat saja di batin manusia. Dengan demikian, religiusitas lebih menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman religius, sehingga yang muncul adalah rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak.
Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman religius adalah dengan meningkatkan kepekaannya menangkap simbol atau lambang-lambang yang ada di sekelilingnya. Dengan menangkap simbol atau lambang-lambang itu manusia akan memperoleh pengalaman estetik, dan pengalaman estetik itulah yang akan mengarahkan atau membangkitkan pengalaman religius. Di sinilah letak keeratan hubungan antara pengalaman estetik dan pengalaman religius. Jika diibaratkan sebuah simpul, dalam pengalaman estetik simpul baru mulai diurai, sedangkan dalam pengalaman religius simpul sudah terurai (Hartoko, 1986).
Religiusitas merupakan penyerahan diri manusia kepada Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia itu tergantung pada Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan keselamatan yang sejati dari manusia, bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu memperoleh keselamatan itu dan karenanya ia menyerahkan dirinya. Sistem upacara religius yang sering dilakukan manusia bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Sistem upacara religius ini melaksanakan dan melambangkan, menyimbolkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakukan atau manifestasi dari religi, misalnya berdoa, bersujud, bersaji, makan bersama, menari, berpuasa, bersemedi, dan sebagainya.
Orang Jawa sangat memuja kepada Tuhan dan juga sangat menghormati arwah moyangnya. Di samping itu, mereka pun percaya bahwa Tuhan juga menciptakan dunia lain di samping manusia, yaitu alam halus dimana para makhluk halus seperti jin dan setan juga ada.
Religiusitas bagi orang Jawa harus ditunjukkan dengan tingkah laku selaras dengan dunianya yang diwujudkan dengan susila atau etikanya, keselarasan dengan Tuhan yang diwujudkan dengan takwanya dan kedekatannya dengan kesadaran dirinya, hal ini diwujudkan dalam sikap batinnya yang selalu elingwaspada (sadar diri), sadar dan waspada akan segala tindakan-tindakannya (Herusatoto, 1985).
Pemujaan arwah nenek moyang ialah kepercayaan orang Jawa pada mulanya arwah nenek moyang bisa dimintai berkah dan petunjuk. Sarana yang ditempuh untuk mendatangkan arwah nenek moyang ialah disebut perewangan (semacam orang sakti), membuat patung nenek moyang, membuat sesaji membakar kemenyan, mengiringi upacara dengan bunyi-bunyian.
Tindakan religi yang lain seperti untuk menambah kekuatan batinnya sendiri dilakukan dengan mencegah makan dan tidur (cegah dhahar lawan guling), hanya makan yang serba putih (mutih), berpuasa Senin dan Kamis (nyenen-kemis), berpuasa di hari-hari kelahiran menurut perhitungan pasaran Jawa (wetonan). Untuk menambah kekuatan batin dan dapat mempengaruhi alam semesta bisa dilakukan dengan memakai benda-benda yang berkekuatan gaib yang disebut jimat yang berupa keris, batu akik, akar bahar, kuku macan, dan sebagainya. 
Sikap religi orang Jawa bisa dilihat dalam derajat, kepangkatan, kedudukan serta usia, yang muda akan datang ke yang lebih tua untuk sowan atau menghadap, tuwi kasugengan atau menengok kesehatan, atur pisungsung atau menyampaikan sesuatu yang biasanya berupa makanan sebagai tandak kasih dan hormat, sungkem atau menghaturkan sembah, nyuwun pangestu  atau mohon ijin dan doa restu. Adapun yang tua akan memberikan kepada yang muda berupa puji pangastuti atau doa restu, wejangan atau petuah dan petunjuk, paring sangu atau bekal baik berupa pelajaran hidup atau berupa benda yang berkhasiat, dan tuladha atau contoh perbuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar