Halaman

Cari Blog Ini

Minggu, 19 September 2010

YANG TERDESAK DAN BERONTAK

Catatan selintas perjalanan di Solo. Bersama dengan saya, Antonius Pujianto, Danang Wahyu Lisnawan, Enik Tri Suryanti dan dua malaikat kecil kami (Yayang dan Lutfi). Hadiah yang luar biasa dari BRISyariah Cabang Solo atas perjuangan menembus Jawara Nasional. Terima kasih Bapak Tavip Hardaya dan Bapak Iskandar.

Dimulailah perjalanan sekilas menikmati Solo. Perjalanan diawali dengan menyusuri pagelaran budaya Kasunanan Surakarta. Menjelajah keraton dengan delman. Menikmati kampung batik. Diakhiri dengan menikmati musik di coffee shop. Ada dua dari sekian hal yang tertangkap oleh indra saya. Yaitu adanya fenomena antara yang terdesak dan yang melonjak.

ANTARA GAMELAN DAN SIRKUS
Ada pameran kebudayaan di kompleks Kasunanan Surakarta. Penyelenggara dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Banyak stand dari daerah di Solo Raya. Mereka menebar senyum dan leaflet. Kereta dan mobil kuno pun digelar di arena pameran. Menampilkan yang ingin dijual yaitu kekunoan atau keantikan di tengah kebisingan modernitas. Ada kembang setaman di bawah kereta itu. Yang kemudian menimbulkan tanda tanya (ada juga yang sinis, mungkin).
Di pameran itu juga digelar pentas budaya yang menampilkan tarian Jawa dan gamelan. Pertunjukkan terakhir ditutup dengan Bedaya Sukoharjo dan gamelan. Kami tak sempat melihatnya, hanya mencicipi persiapan panggungnya. Menarik ketika melihatnya. Tempat pertunjukkan di pendapa dengan kursi yang disediakan kurang lebih 50 buah. Dengan provokasi mantap, bagian informasi menyatakan ”Semua pertunjukkan GRATIS”.

Di bagian luar arena. Alun-alun tepatnya. Terdapat panggung yang megah. Warna-warni menarik. Berjudul Sirkus Oriental. Berasal dari Rusia dan menyebut pemain nama negara-negara lain. Pertunjukkan sirkus dilakukan setiap hari dua kali. Tiket untuk kelas ekonomi Rp20.000,00. Kelas bisnis Rp40.000,00. sedangkan kelas VIP Rp60.000,00. Mengingat kursi yang disediakan untuk ekonomi hanya tersedia 250 buah kursi. Dan biasanya, habis dengan cepat. Sehingga harus siap satu jam sebelum mulai agar dapat tiket.

Lalu, mulai saya tersenyum simpul. Betapa murahnya nilai budaya Indonesia. Yaitu GRATIS. Ditonton saja sudah untung. Daripada tidak ada yang menonton.

ANTARA WISMAN DAN WINUS
Setelah menikmati pagelaran budaya kami mulai berjalan kaki ke Museum dan Keraton Surakarta. Kami pilih berjalan kaki meski pilihan untuk naik mobil diberikan petugas informasi. Berjalan menyusuri tepi-tepi tembok keraton. Sampai juga di Museum. Mulai berkeliling menikmati sajian keantikan museum. Ahh, sayang banyak juga yang kurang terawat. Debu dan kusam. Atau mungkin itu juga keantikan yang ingin ditawarkan?

Ketika berjalan ada beberapa turis asing yang lewat. Si kecilku bertanya, ”Mah, itu dari Inggris ya Mah?” Ha ha konotasi turis asing dengan bahasa ba bi bu adalah Inggris.
Serombongan turis Jepang pun dipandu dengan pemandu yang cas cis cus berbahasa Jepang lewat.

Ketika turis wisman (wisatawan mancanegara) lewat, saya tangkap sesuatu yang menarik. Mereka intens memperhatikan pemandu. Bertanya ini dan itu. Dahi mengernyit. Serius. Mengabadikan keantikan dengan pengetahuan.

Sedang turis winus (wisatawan nusantara) seperti saya. Jalan-jalan tanpa pemandu. Tawaran untuk dapat pemandu pun tidak ada sama sekali. Mungkin karena kocek saya yang dinilai nggak kapabel dapat pemandu. Ha ha ha. Menikmati sambil penuh tanya. Berfoto-foto dengan gaya bahkan bergaya di bagian yang bertulis ”Jangan disentuh”. Mengabadikan keantikan dengan gaya.

Perjalanan saya pun bagi beberapa teman terasa sangat aneh. Masak jalan-jalan kok ke Solo mbok ya ke tempat lain yang jauh gitu. Saya termasuk dalam golongan penduduk Solo ’kemringet’. Sekedar gojekan untuk menyebut daerah saya yang perlu ditempuh 2 jam perjalanan dari Solo. Cukup untuk menimbulkan ”keringat”. Meski kami masih berjudul warga Solo. Nyatanya, kami baru bisa menikmati museum Solo juga baru ini. Kebanggaan bangsa Indonesia terhadap budaya sendiri juga masih perlu disentuh. Ahh, suatu saat kami akan ajak lebih banyak orang untuk menikmati Solo. Terutama golongan Solo kemringet.

ANTARA LARANGAN DAN PENGHARGAAN
Sampai kami di ujung museum. Sebuah pintu dengan penjaga mengenakan blangkon. Langsung disambut dengan larangan menggunakan sandal. Sepatu atau telanjang kaki. Hmm menarik, kami berjalan-jalan dengan telanjang kaki. Menyentuh pasir lembut di pelataran keraton.
Di tengah-tengah terpajang pendapa luas. Dengan patung-patung di sekelilingnya. Pun pohon-pohon sawo dengan angkuh memayungi pengunjung yang kepanasan. Ternyata masih ada celah yang tidak terlindungi pohon sawo. Panas. Maka anakku berteriak, ”Mah payungnya!” Oke siap. Baru proses membuka payung. Ada teriakan dari belakang. ”Mbak tidak boleh memakai payung!” Ha? Mungkin payung dianggap tidak menghargai kekayaan budaya keraton. Atau mungkin membuat pengunjung jadi manja. Atau juga pohon-pohon sawo akan tersinggung. Atau juga mengingatkan bahwa ini kunjungan yang sakral. Bukan sekedar main-main.
Kaki yang terasa capek mengajak untuk duduk. Kami duduk di tempat semacam pendapa kecil. Ada pengunjung yang mulai tidur-tiduran di pendapa. Lalu ada yang berteriak “Mas, jangan tidur. Duduk saja!”. Si kecilku yang berdiri di tengah pendapa itu. Dan teriakan bergoncang lagi “Duduk saja, jangan berdiri!”

Mungkin dengan larangan demi larangan pengunjung diajak untuk semakin menghargai. Mungkin...

ANTARA DELMAN DAN MOBIL
Seusai kami berjalan-jalan di keraton. Kami pun keluar. Ehemm ada delman di luar. Dua malaikat kecil kami mulai merajuk untuk naik delman. Transaksi terjadi. Kami diantar berdelman mengelilingi keraton, melewati pasar Klewer, mengunjungi Kampung Batik di Kauman dan kembali ke parkiran mobil.
Perhentian pertama di kubangan kerbau. Kyai Slamet. Begitu namanya. Pak Delman menawarkan kami untuk turun sejenak melihat para kerbau yang cuek habis. Para kerbau itu jadi selebritis. Ditonton. Diberi hadiah seikat kangkung.

Di jalan si kuda meringkik. Kami sempat kaget. Pak delman pun bertutur kalau kudanya memberi salam pada kuda-kuda lain. Merasa senasib. Kuda yang kami kendarai berumur 8 tahun. Dibeli dengan harga hampir Rp 3 juta. Umur ideal untuk jadi sopir utama delman sampai 12 tahun. Jadi masa pensiun kuda masih 4 tahun lagi.

Ketika mau berbelok atau menyeberang pak delman memakai tangannya. Bak lampu dim mobil. Sepeda motor dan mobil berlomba saling rebut jalan. Kuda pun meringkik kaget tatkala ada kendaraan yang seenaknya saja menyeruak merebut jalan.
Sampai kami di Kampung Batik Kauman. Memasuki gang sempit jadi tantangan bagi delman. Ada mobil yang diparkir di pinggir jalan. Akhirnya, memaksa delman untuk mencari jalan alternatif lain. Berputar mengelilingi gang-gang sempit lain. Berlomba dengan sempitnya jalan dan gagahnya mobil mewah.

Seutas doa terselip. Semoga delman masih bisa bertahan. Dua malaikat kecil kami, Yayang dan Lutfi masih ingin naik delman lagi. Semoga saja....

ANTARA BATIK TULIS DAN CETAK
Kami pun menikmati penjelajahan di Kampung Batik. Sebuah kekuatan keantikan yang masih bertahan. Polesan tradisi dikemas dengan modernitas. Masih bisa bertahan. Beberapa outlet menyajikan pertunjukkan menarik. Proses membuat batik.
Baik batik tulis maupun batik cetak. Dari selembar kain putih diberi gambar dengan pensil. Dibatik dengan canting dan malam. Lalu ditimpali warna-warni. Atau ada juga cara lain. Cetak dengan cetakan tembaga. Proses batik tulis lebih lama dan intens. Harganya pun jadi lebih mahal. Sedangkan batik cetak lebih cepat. Jumlahnya pun bisa massal.
Memang benar adanya. Ketekunan, ketelatenan dan kesabaran perlu dinilai lebih mahal. Penghargaan terhadap proses yang membutuhkan waktu, tenaga, dan kreativitas. Hmmm menarik!

RESUME
Ada yang terdesak dan berontak. Tradisi tergencet modernitas. Ketekunan tersisihkan budaya instan. Kebanggaan terseret ketakutan tak laku. Keantikan terbalut tak terawat.
Namun ternyata, ada sinergi juga. Yang terdesak tak perlu berontak. Hanya perlu menyisihkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bersinergi. Semuanya berawal dari penghargaan terhadap diri sendiri. Keberanian dibutuhkan untuk menghargai potensi diri.
Ahh, sekilas perjalanan ini memberikan banyak makna. Meski ada yang belum terjelajahi. Pasti ada dan selalu berharap masih ada yang menunggu dijelahi. Penjelajahan kali ini memberi semangat dan visi yang baru. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar